Wednesday, September 24, 2008

Vote Getter, Money Getter

Suara Merdeka tanggal 24 September 2008(kolom GAGASAN)

Ketika pilihan rakyat tidak menentukan lagi karena semua ditentukan partai, mulailah terjadi kerusakan sistem. Kepercayaan pemilih bisa dikesampingkan hanya karena si vote getter tidak mampu membayar untuk nomor jadi. Menjadi wakil rakyat hal yang luar biasa sulitnya. Bukan karena tuntutan menguasai permasalahan pemilih, memberi pemecahan dan jalan keluar.

Kesulitan terjadi karena gedung wakil rakyat saat ini bukan ajang untuk mengedepankan nurani. Juga bukan tempat yang tepat mendengar suara hati apalagi untuk mendeteksi cahaya lentera jiwa. Tapi segenap upaya dicurahkan berdasarkan kalkulasi untung rugi secara materi.

Menyadari betapa sulit dan mahalnya meraih jabatan terhormat, kerakusan akhirnya menjadi fokus agar secara pribadi tidak rugi. Setelah menjadi orang terhormat, menjelmalah menjadi money getter. Dari persuasi, manipulasi hingga intimidasi penuh ”kreasi”, jadilah pendulang uang piawai. Kuras semua.

Maka jargon untuk mengatasi demam berdarah juga berlaku yaitu menguras/menggali dan menutup rapat semua kerakusan yang dilakukan secara sistematis. Diiringi ritual fit and proper test, interpelasi dan membuat RUU, akhirnya malah mabuk. Kalau pemain kuda lumping kerasukan dengan menari hingga makan beling, maka orang yang kerasukan tersebut ke sana ke mari cari komisi.

Kerasukan akhirnya berakibat lupa (jati) diri. Tak cukup hanya itu semua. Di antara mereka ketahuan punya simpanan. Tahu track record dan program karya calon pemimpin, calon wakil rakyat mendatang, sangat penting agar masyarakat bisa selektif memilih calon pemimpinnya. Ayo bangkit dan majulah Indonesia.

Purnomo Iman Santoso (El)
Villa Aster Blok G/10 Srondol, Semarang

Sunday, September 21, 2008

Belajar dari Sido Muncul

Suara Merdeka tanggal 21 September 2008(Kolom GAGASAN)

Lebaran segera tiba. Haruskah kemacetan, antrean panjang pengguna jasa transportasi rakyat seperti kereta api, bus menjadi tradisi ”ritual” bagi yang merayakan?
Haruskah diopinikan bahwa kesemrawutan itu bagian dari romantika Lebaran.

Jadi berlebaran identik dengan bersusah payah dan tidak lengkap bila tanpa berebut, saling sikut dan berdesakkan serta yang mengerikan bila sampai terjadi kecelakaan.

Masih belum cukupkah setahun perjuangan para penggerak ekonomi bangsa. Sudah saatnya, paradigma, interpretasi, opini yang populer namun tidak cerdas tersebut harus diluruskan.

Sejak dulu, Lebaran sepertinya menjadi acara masyarakat untuk berkumpul sanak saudara, handai taulan. Berkumpul sejenak, lepas dari deraan rutinitas dan yang tak kalah penting, seperti istilah Banyumasan ngumpulna balung pisah.
Tak ada lagi sekat dan batas yang dibuat sementara pihak. Sungguh, sangat tidak sepantasnya, untuk tujuan yang indah ini harus diujudkan lebih dulu dengan berebut, saling sikut, serobot, ngotot dan saling melotot. Balita dan manula harus berjuang melawan si muda yang gagah perkasa agar bisa mendapatkan karcis hingga sejengkal ruang pengab di gerbong kereta api.

Semua itu masih harus dipertahankan sampai tujuan di tengah kelelahan, risiko kecopetan hingga pelecehan dan pemerasan dari pihak yang juga merasa berhak meminta rezeki dengan dalih ”setahun sekali”.Tak cukup saat mudik namun juga saat arus balik. Barangkali ada baiknya dinas terkait belajar pada salah satu perusahaan jamu yang menggelar acara mudik sejak lebih dari satu dasa warsa.

Tak sebatas ikut tampil diliput media pada acara pelepasan bus pengangkut pemudik, tapi perlu mau berendah hati belajar mengelola pemudik yang makin tertib, nyaman dan manusiawi. Sekadar pemikiran awam, tak perlu spanduk imbauan ”Dilarang Membeli Tiket Lewat Calo” dan sejenisnya yang selalu jadi andalan untuk diliput media.

Tapi ujudkan peningkatan pelayanan misal dengan melakukan ”jemput bola”. Penjualan tiket hingga pengkoordinasian pemberangkatan di kantong-kantong pemudik yang biasanya di kawasan industri. Kalau harus ada tambahan biaya, asal wajar tentu para pemudik mau memahami. Tidak main kemplang,tertib dan manusiawi.
Selamat, Sehat sampai tujuan.

Ini semua telah dilakukan Jamu Sido Muncul dengan layanan mudik untuk penjual jamunya. Kalau perusahaan jamu saja bisa, masyarakat awam yakin dinas terkait pasti mampu. Asal mau.

Purnomo Iman Santoso
Villa Aster II Blok G/10 Srondol, Semarang

Thursday, September 04, 2008

Fit and Proper Test dari Kebumen

Suara Merdeka tanggal 04 September 2008(Kolom GAGASAN)

Saya menyaksikan karnaval di Kebumen 20 Agustus 2008 yang berlangsung meriah dan perhatian masyarakat yang antusias. Saat iring-iringan awal dimulai, warga yang menonton berteriak:”Bupatine...bupatine...
Saya coba mencari sudut pandang yang lebih jelas.Ternyata, Bupati Kebumen Dra Rustriningsih MSi dengan naik delman melintas dan melambaikan tangan kepada penonton.

Beliau tidak naik mobil dinas dengan pengawalan ketat dan tatapan ”waspada” serta sirene over acting dari satpol PP. Saya baru paham dari celoteh penonton, bahwa Bupati Kebumen sedang berpamitan karena berakhirnya tugas dan kini menjabat sebagai Wagub Jateng.
Sejak Pilpres 2004 yang dipilih langsung oleh rakyat, kepala daerah pun juga mulai dipilih langsung.Kalau melihat masa jabatan yang seharusnya berakhir tahun 2010, Bupati Kebumen termasuk yang mengawali dipilih langsung rakyat. Melihat cabup dan cawabup yang saat kampanye masuk ke pasar-pasar untuk mencari simpati dan dukungan sepertinya sudah jadi mode. Tapi masyarakat tentu menghargai inisiatif bupati yang ikut berkeliling menyapa dan berpamitan dengan warga di akhir jabatannya.

Simpatik, karena memelopori tradisi baru yang bukan aturan protokoler baku dan kaku. Menarik,karena terkesan ada kespontanan. Sangat langka di masa lalu ada pejabat berpamitan dengan berinteraksi langsung dengan rakyat diakhir jabatannya. Kalau pejabat berinteraksi dengan warga saat kampanye, sudah biasa.

Sepertinya, apa yang dilakukan Bupati Kebumen perlu dijadikan tradisi baru bagi pejabat diakhir masa tugasnya. Tidak perlu tes rumit dan pernyataan lulus yang berbelit seperti yang dilakukan wakil rakyat. Cukup dengan sering keliling, informal, menyapa dan melihat dari dekat warganya. Bukan sering bagi-bagi travel cheque.
Kekurangan dan kelebihan adalah sangat manusiawi. Namun sambutan masyarakat di jalanan secara tulus ikhlas membalas lambaian dan sapaannya, menjadi indikasi bahwa bupati ini benar-benar telah fit and proper sebagai pemimpin. Fit and proper test langsung, memang jauh lebih simple, murah, tanpa mengabaikan akurasinya.

Semoga di tugas yang baru beliau tidak mengecewakan warga Jawa Tengah, dengan tetap mewujudkan pemerintahan yang melayani rakyat dan menegakkan pemerintahan yang bersih dari perilaku koruptif.

Purnomo Iman Santoso (EI)
Villa Aster II Blok G/10 Srondol, Semarang