Thursday, March 17, 2011

Ular Membelit Cawan yang Kini Terlupakan

Harian Suara Merdeka tanggal 17 Maret 2011(Kolom Gagasan)

Sekitar tahun 1975-1980, apotek masih sangat jarang, adanya hanya di kota. Kalau hari libur berarti hanya apotek jaga yang melayani. Mungkin kita masih ingat, di surat kabar masih ada kolom daftar apotek jaga. Sekarang yang namanya apotek dengan mudahnya dijumpai, tak harus di kota besar, tapi juga di kota kecil bahkan di desa besar.

Pelayanan pun semakin dipermudah. Seolah bersaing dengan minimarket, apotek pun ada yang buka 24 jam. Hari libur? Tak masalah, karena ada yang beroperasi 7 hari. Papan nama apotek dipasang berwarna-warni, tak kalah dari papan nama gerai-gerai makanan cepat saji. lni semua tak lepas dari kebijakan, dengan tujuan meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat.

Pada apotek lama, setiap sign board/papan nama masih dilengkapi dengan logo bergambar ular membelit cawan. Tak tahu arti persisnya, namun kira-kira secara awam bermakna bahwa obat-obat farmasi sebenarnya adalah racun, maka untuk mengonsumsinya harus terukur (melalui resep dokter). Yang mengusik, ternyata logo tersebut kini sering terlupakan. Ada yang logonya terlalu kecil, bahkan ada yang sudah tak mencantumkan lagi.

Di gerai-gerai jejaring apotek modern sering logo berbentuk ular membelit cawan tak tertera jelas. Mungkin terlupakan, karena pesan pelayanan 24 jam lebih prioritas. Dalam kondisi sakit, dengan dosis tertentu, obat-obatan modern diperlukan agar kita sembuh. Namun masifnya pemasaran obat farmasi, dengan segala sarana, jejaring, promosi dan kemudahannya, tak adanya logo, bukan tak mungkin berpotensi akan membuat masyarakat menjadi lupa bahwa obat yang mereka konsumsi sebenarnya adalah racun.

Motto obat untuk kesehatan bisa jadi hanya slogan, bila di saat bersamaan proses pembodohan secara tak disadari terjadi. Persaingan ketat industri farmasi untuk memperebutkan pasar Indonesia yang sangat besar, hal yang sah-sah saja, tapi harus diikuti dengan upaya untuk terus mencerdaskan masyarakat.

Beberapa waktu lalu saya membaca artikel menarik di sebuah majalah kesehatan ‘’Sedikit-sedikit Antibiotik Tubuh Malah Gampang Sakit’’. Artikel ini merupakan penelitian US National Ambuilatory Medical Care Survey, dan juga studi dari dokter yang sudah profesor, Prof dr Iwan Dwiprahasto, MMedSc,Phd dari Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Yang membuat miris ternyata secara sistematis (sejak) balita sudah dijadikan kader-kader potensial konsumen obat melalui pemberian resep antibiotik yang berlebih sejak dini.

Indonesia kaya tumbuhan obat, dan ada ungkapan alam sudah menyediakan obat untuk seluruh makhluk hidup. Belum lagi, tubuh manusia sebenarnya sudah sangat hebat karena punya sistem pertahanan yang luar biasa canggih untuk menolak bala penyakit. Sungguh sangat disayangkan jika kita menyugesti diri untuk sehat harus tergantung pada obat (yang sebenarnya racun), apalagi bila secara berlebihan, yang sering justru melemahkan atau malah menghancurkan sistem pertahanan diri.

Kalau kita mau sejenak merenung, rakyat Indonesia tetap sehat sebelum era obat-obatan masuk menyerbu. Indonesia kaya tumbuhan herbal dan jangan lupa jamu. Jamu dijual tanpa wajib berlogo ular melilit cawan. lni artinya, jamu bukan racun. Jadi jamu pasti menyehatkan.

Setiap manusia adalah pengarang atas kesehatan atau penyakitnya sendiri (Sidharta Gautama).

Kalau menelaah ungkapan bijak ini, saatnya kita sehat dengan upaya preventif. Biarlah gerai-gerai apotek berdiri asal dengan pemahaman yang mencerdaskan. Di sisi lain kedai-kedai, warung-warung, bila perlu kafe jamu wajib didorong untuk bertumbuh kembang, agar lintas status sosial, lintas generasi, lintas zaman, kembali akrab mengonsumsi resep tanaman sehat dari nenek moyang yang sudah teruji khasiatnya, dan berasal dari kekayaan alam sendiri. Dokter juga berkenan memanfaatkan produk herbal/jamu dalam setiap advisnya pada pasien maupun masyarakat. Indonesia dijamin sejahtera, sehat plus devisa hemat.

Purnomo Iman Santoso-EI
Villa Aster II BIok G No 10
Srondol, Semarang 50268