Monday, October 27, 2008

Rindu Natural, Bosan Artifisial

Harian Suara Merdeka tanggal 27 Oktober 2008(kolom GAGASAN)

Mulai 25 September 2008, film Laskar Pelangi diputar serentak di banyak gedung bioskop. Menarik, pemeran film ini direkrut dari anak-anak Belitung, bukan bintang film atau pesinetron tersohor. Dalam wawancara di acara Kick Andy-Metro TV, para pemeran bersikap apa adanya. Bahkan di Selamat Pagi Indonesia-TVOne setelah film diputar di bioskop, sikapnya juga tetap wajar, bahasanya simpel. Saya yakin mereka tahu bahwa film yang dibintanginya sukses besar. Mereka juga tidak latah berniat jadi bintang film. Lebih mengutamakan sekolah. Kematangan lokal yang patut diapresiasi.

Dewasa ini, ada gaya khusus untuk menunjukkan status. Bergaya bahasa topeng diikuti penampilan ja-im agar tampak sebagai ”beliau”. Bahasanya bergaya infotainment, lengkap ungkapan populer khas metropolitan, jadi tingkah wajib agar menyandang status selebritis.

Bahkan untuk menunjukkan status sebagai bangsa, cenderung menekankan kepada hal yang bersifat kasat mata. Termasuk penuh kepentingan yang jauh dari jati diri. Keseragaman diutamakan, keragaman menjadi sasaran berburuk sangka.

Novel Laskar Pelangi dengan bersahaja menunjukkan kepada masyarakat bahwa semangat ke-Indonesia-an sejati yang ber-Bhinneka Tunggal Ika sudah ada sejak dini di segenap pelosok negeri tanpa perlu penataran, atribut, slogan atau klaim. Sangat indah, muncul secara otomatis, spontan. Ke-Indonesia-an yang nyata dirasakan dari sanubari terdalam dan meresap dijiwa. Touch of the soul.Tak hanya hafalan.

Film garapan sutradara Mira Lesmana-Riri Reza ini berhasil memuaskan penonton. Konon animo penonton begitu besar karena tidak terjadi kesenjangan berarti antara imajinasi dengan pemeran di film. Luar Biasa.
Semangat dan jiwa Indonesia pada kisah Laskar Pelangi sangat hidup dan nyata.Tidak terwakili pidato berapi-api orator terlatih yang sering tanpa makna. Masyarakat sudah jemu dengan segala sesuatu yang dibuat-buat, meniru jauh dari kenyataan.

Di samping merupakan indikasi kepiawaian dalam menyeleksi pemain, juga menunjukkan kejelian sutradara membaca kerinduan bangsa ini terhadap sikap dan perilaku natural. Sebaliknya memunculkan sikap kebosanan terhadap yang berbau artifisial.

Purnomo Iman Santoso (El)
Villa Aster II Blok G/10 Srondol, Semarang