Wednesday, January 11, 2012

Jaksa Alpa

Harian Suara Merdeka tanggal 12 Januari 2012 (kolom GAGASAN)

Suatu sore, saat berbincang dengan kawan dalam rangka bertukar pandangan, ada salah satu stasiun TV mengulas berita tentang dakwaan jaksa yang tidak Iengkap. Kalau tak salah tangkap, di wawancara si pengacara bilang: Ibarat seseorang dituduh mencuri ayam, tapi tidak pernah ditanya penyidik, dan seterusnya.

Selang beberapa hari, istri menunjukkan tulisan berjudul ’’Jaksa Alpa” yang ditulis W.F Welherman, dimuat di Majalah Bulanan Intisari 5 Juni 1997, halaman 193. Isi tulisan saya kutip persis: Seorang pria malang tewas terlindas kereta saat ia dengan sepeda motornya melewati sebuah persimpangan KA. Sehubungan dengan itu, orang tuanya menggugat Jawatan Kereta Api sebagai pihak yang bertanggung jawab. Hal itu pasti tidak akan terjadi kalau penjaga rel tidak ceroboh.

Dalam sidang pengadilan, penjaga rel dipanggil sebagai saksi kunci. Jaksa mengajukan beberapa pertanyaan: Apakah Saudara benar-benar melaksanakan tugas pada saat peristiwa itu terjadi? Apakah Saudara juga sudah membawa lentera tanda berhenti? Apakah, sesuai prosedur, Saudara juga mengayun-ayunkan lentera tersebut pada setiap pemakai jalan?

Dibawah sumpah, semua pertanyaan itu dijawab oleh sang penjaga dengan jawaban: Benar. Akhirnya pengadilan memutuskan membebaskan pihak tergugat, dalam hal ini Jawatan Kereta Api dari segala tuduhan.

Beberapa hari kemudian direktur Jawatan KA berkunjung ke rumah sang penjaga rel, Jarwis. Ia mengucapkan terima kasih kepada sang pegawai yang telah menyelamatkan muka PJKA.

’’Pak Jarwis, tolong ceritakan bagaimana perasaan Anda pada sidang pengadilan beberapa waktu lalu. Anda tentu nervous menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari Jaksa yang galak itu?’’ tanya sang direktur.

Sang penjaga rel menjawab: Ya Pak. Saya sangat tegang waktu itu. Detik demi detik hati saya dicekam rasa takut kalau jaksa sampai menanyakan, apakah lentera itu menyala?

Membaca artikel ini, jadi teringat perbincangan di salah satu stasiun TV, berapa hari lalu. Belakangan muncul berita yang menyebutkan bahwa eksepsi pengacara ditolak hakim. Logika awam, meski bukan orang yang paham hukum terusik. Kok ditolak ya? Bukannya sang hakim seharusnya berterima kasih kepada sang pengacara, yang mencegah potensi kealpaan jaksa terjadi. Bukankah jaksa juga manusia?


Purnomo Iman Santoso-EI
Villa Aster III Blok G No 10
Srondol, Semarang 50268

Thursday, March 17, 2011

Ular Membelit Cawan yang Kini Terlupakan

Harian Suara Merdeka tanggal 17 Maret 2011(Kolom Gagasan)

Sekitar tahun 1975-1980, apotek masih sangat jarang, adanya hanya di kota. Kalau hari libur berarti hanya apotek jaga yang melayani. Mungkin kita masih ingat, di surat kabar masih ada kolom daftar apotek jaga. Sekarang yang namanya apotek dengan mudahnya dijumpai, tak harus di kota besar, tapi juga di kota kecil bahkan di desa besar.

Pelayanan pun semakin dipermudah. Seolah bersaing dengan minimarket, apotek pun ada yang buka 24 jam. Hari libur? Tak masalah, karena ada yang beroperasi 7 hari. Papan nama apotek dipasang berwarna-warni, tak kalah dari papan nama gerai-gerai makanan cepat saji. lni semua tak lepas dari kebijakan, dengan tujuan meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat.

Pada apotek lama, setiap sign board/papan nama masih dilengkapi dengan logo bergambar ular membelit cawan. Tak tahu arti persisnya, namun kira-kira secara awam bermakna bahwa obat-obat farmasi sebenarnya adalah racun, maka untuk mengonsumsinya harus terukur (melalui resep dokter). Yang mengusik, ternyata logo tersebut kini sering terlupakan. Ada yang logonya terlalu kecil, bahkan ada yang sudah tak mencantumkan lagi.

Di gerai-gerai jejaring apotek modern sering logo berbentuk ular membelit cawan tak tertera jelas. Mungkin terlupakan, karena pesan pelayanan 24 jam lebih prioritas. Dalam kondisi sakit, dengan dosis tertentu, obat-obatan modern diperlukan agar kita sembuh. Namun masifnya pemasaran obat farmasi, dengan segala sarana, jejaring, promosi dan kemudahannya, tak adanya logo, bukan tak mungkin berpotensi akan membuat masyarakat menjadi lupa bahwa obat yang mereka konsumsi sebenarnya adalah racun.

Motto obat untuk kesehatan bisa jadi hanya slogan, bila di saat bersamaan proses pembodohan secara tak disadari terjadi. Persaingan ketat industri farmasi untuk memperebutkan pasar Indonesia yang sangat besar, hal yang sah-sah saja, tapi harus diikuti dengan upaya untuk terus mencerdaskan masyarakat.

Beberapa waktu lalu saya membaca artikel menarik di sebuah majalah kesehatan ‘’Sedikit-sedikit Antibiotik Tubuh Malah Gampang Sakit’’. Artikel ini merupakan penelitian US National Ambuilatory Medical Care Survey, dan juga studi dari dokter yang sudah profesor, Prof dr Iwan Dwiprahasto, MMedSc,Phd dari Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Yang membuat miris ternyata secara sistematis (sejak) balita sudah dijadikan kader-kader potensial konsumen obat melalui pemberian resep antibiotik yang berlebih sejak dini.

Indonesia kaya tumbuhan obat, dan ada ungkapan alam sudah menyediakan obat untuk seluruh makhluk hidup. Belum lagi, tubuh manusia sebenarnya sudah sangat hebat karena punya sistem pertahanan yang luar biasa canggih untuk menolak bala penyakit. Sungguh sangat disayangkan jika kita menyugesti diri untuk sehat harus tergantung pada obat (yang sebenarnya racun), apalagi bila secara berlebihan, yang sering justru melemahkan atau malah menghancurkan sistem pertahanan diri.

Kalau kita mau sejenak merenung, rakyat Indonesia tetap sehat sebelum era obat-obatan masuk menyerbu. Indonesia kaya tumbuhan herbal dan jangan lupa jamu. Jamu dijual tanpa wajib berlogo ular melilit cawan. lni artinya, jamu bukan racun. Jadi jamu pasti menyehatkan.

Setiap manusia adalah pengarang atas kesehatan atau penyakitnya sendiri (Sidharta Gautama).

Kalau menelaah ungkapan bijak ini, saatnya kita sehat dengan upaya preventif. Biarlah gerai-gerai apotek berdiri asal dengan pemahaman yang mencerdaskan. Di sisi lain kedai-kedai, warung-warung, bila perlu kafe jamu wajib didorong untuk bertumbuh kembang, agar lintas status sosial, lintas generasi, lintas zaman, kembali akrab mengonsumsi resep tanaman sehat dari nenek moyang yang sudah teruji khasiatnya, dan berasal dari kekayaan alam sendiri. Dokter juga berkenan memanfaatkan produk herbal/jamu dalam setiap advisnya pada pasien maupun masyarakat. Indonesia dijamin sejahtera, sehat plus devisa hemat.

Purnomo Iman Santoso-EI
Villa Aster II BIok G No 10
Srondol, Semarang 50268

Saturday, November 20, 2010

Belajar Etika Cukup dengan Pak Waras

Harian Suara Merdeka tanggal 20(SM Cyber), 22 November 2010(Kolom GAGASAN)

Studi banding tampaknya menjadi program favorit para wakil rakyat. Atas nama kepentingan rakyat, para wakil rakyat terhormat melanglang buana.Tak tanggung-tanggung, dan sudah semestinya kalau negara tujuan adalah yang jauh lebih maju. Program dengan tema studi, sudah sewajarnya yang memancar adalah semangat belajar yang kuat, untuk mendapatkan pengetahuan yang akan digunakan memecahkan masalah yang dihadapi rakyat Indonesia.

Ironinya berbanding terbalik. Semakin sering studi banding, efektivitas pengawasan kepada pemerintah tak dirasakan oleh masyarakat luas. Wakil rakyat diberi mandat oleh rakyat untuk mengawasi kinerja pemerintah, sepertinya tak berdaya. Di dalam negeri sendiri, masalah-masalah besar dan cenderung semakin kotor, terus membengkak. Keberpihakannya semakin tak dirasakan oleh rakyat. Yang menjadi pertanyaan, apa yang di studi bandingkan para wakil rakyat? Apakah studi banding ada relevansi dan urgensinya dengan atas mendesaknya kebutuhan clean and good governance/pemerintahan yang bersih.

Uniknya, permasalahan besar yang belum terselesaikan sebenarnya masalah-masalah yang bagi awam sederhana, seringkali sudah gamblang dan terang benderang, dipersulit dengan dalih-dalih rumit. Alih-alih menjadi tuntas, justru ungkapan: Indonesia negara hukum, hukum harus ditegakkan, hukum harus jadi panglima, menjadi semakin klise. Ada diskriminasi mencolok terhadap penerapan dalih praduga tak bersalah. Belum lagi ketika komitmen tidak saling mengintervensi, independensi, ditafsirkan seolah punya kewenangan untuk menentukan beraneka versi kebenarannya sendiri.
Semua materi studi banding hanya akan berhenti sebatas laporan/report yang akan teronggok, memenuhi gudang-gudang di gedung DPR, kalau tanpa komitmen untuk menerapkannya. Belum lagi kalau tema dan topiknya tak sesuai urgensi. Padahal, sekali pun sesuai dengan urgensi, masih perlu penyesuaian (tidak boleh copy-paste) karena solusi mengacu permasalahan masyarakat di negara lain.

Melihat realitas ini, program studi banding (baik keluar negeri maupun dalam negeri) perlu ditinjau ulang. Dengan ketatnya persyaratan menjadi wakil rakyat, yang lolos ke Senayan pastilah orang terpilih. Studi banding akan lebih baik langsung kepada rakyat sendiri. Tak usah jauh-jauh, cukup di luar gedung dan di daerahnya masing-masing. Sekali pun notabene awam, tetapi tak boleh dianggap remeh. Meski tanpa gelar berderet, mereka cerdas, sangat paham bahkan sangat beretika. Punya banyak ide praktis untuk mengatasi banyak permasalahan riil yang kalau diterapkan akan tuntas dan tepat sasaran.

Sebagai contoh, untuk belajar etika. Seharusnya wakil rakyat tak perlu jauh-jauh ke Yunani. Sangat lebih dari cukup bila para anggota dewan terhormat mau berendah hati dan membuka hati belajar dari Pak Waras. Siapa Pak Waras? Dia rakyat Indonesia, sekarang 60 tahun, warga desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, korban Lumpur Lapindo. Pak Waras lebih memilih mengembalikan uang kelebihan ganti rugi senilai Rp 429 juta, karena merasa bukan haknya. Ini terjadi saat sawahnya yang tenggelam oleh lumpur Lapindo seharusnya seharga Rp 56 juta, dibayar Rp 485 juta). Tak perlu lagi mem-fit and proper tes etika Pak Waras. Etikanya benar-benar kualitas unggul. Masih sangat banyak rakyat Indonesia yang beretika seperti Pak Waras.

Kombinasi antara wakil rakyat orang pilihan yang punya kewenangan, dengan ide awam yang riil, beretika dan cerdas, tentu akan melahirkan komitmen keberpihakan terhadap rakyat yang semakin bermakna dalam. Yang lebih dibutuhkan adalah ketulusan dan niat baik untuk memecahkan masalah. Bukan studi banding. Apalagi jauh-jauh ke luar negri.

Purnomo Iman Santoso-EI
Villa Aster II Blok G No 10
Srondol, Semarang 50268

Wednesday, March 03, 2010

Penanaman 100 Juta Pohon

Harian “SUARA MERDEKA” tanggal 3 Maret 2010(Kolom GAGASAN)

Berita banjir,tanah longsor dan angin lisus muncul bersamaan tibanya musim hujan. Juga,berita penghijauan.Pemerintah terus menyemangati masyarakat agar melakukan gerakan penghijauan.Sekitar tahun 2008 sempat terdengar berita program tanam 100.000.000 (seratus juta) pohon.Dua tahun lalu untuk menanami lahan depan rumah,saya membeli dua bibit pohon mangga dan petai.Dengan mempertimbangkan agar saat besar tak terlalu dekat , pohon saya tanam dengan jarak 9 m.Harganya @ Rp. 10.000.

Luas daratan Indonesia 1.904.569 km2.(dibulatkan 1.900.000 km2) . Dengan penduduk mencapai 200 juta jiwa(lebih),anggaplah 60% untuk infrastruktur, rumah,fasilitas umum,fasilitas pemerintahan dan sebagainya.
Sisanya,40% untuk ruang hijau termasuk hutan.Atau 760.000 km2. Dalam hitung-hitungan awam,mohon koreksi kalau keliru,bila diprediksi 5 tahun kemudian pohon tesebut akan menaungi 25 m2 tanah dibawahnya . Maka berdasar perhitungan
1 km2=1.000 m2/25 m2=butuh 40 pohon saja.
Jadi , bila penanaman 100 juta pohon benar-benar dilakukan,dalam kurun 5-10 tahun, harusnya betapa lebat dan hijaunya Indonesia. Menanam 100 juta pohon berarti 100 juta /760.000 km2= 132 pohon /km2.Ada 40% lokasi dimana tiap 7,5 m2(meter persegi) lahan tumbuh satu pohon(1.000 m2/132 pohon).
Belum lagi kalau kemudian muncul gerakan menanam 1 milyar pohon.Wah , sinar matahari tak bisa lagi menembus bumi.Karena akan ditanam 1 pohon setiap 0,76 m2 (= 1 milyar pohon /760.000 km2 = 1.315 pohon/km2)
Misal untuk biaya pengadaan hingga untuk menanam katakan Rp. 6.700,--/per bibit pohon(biaya meliputi pengadaan bibit,angkut kelokasi dan tenaga menanam),maka total biaya 1.000.000.000 pohon x Rp. 6.700,--= Rp. 6.700.000.000.000,--(enam trilyun tujuh ratus milyar rupiah).
Dalih penghijauan,mungkin bisa dibiayai dengan uang negara.Tapi, siapa yang sempat menghitung bahwa benar-benar ditanam 1 milyar pohon?

Purnomo Iman Santoso-EI)
Villa Aster II Blok G no. 10,Srondol,Semarang 50268

Thursday, April 02, 2009

People Power Warga Wonoroto

Suara Merdeka tanggal 2 April 2009(kolom GAGASAN)

Suara Merdeka tanggal 20,21 Maret 2009 memuat berita menarik.Tentang karya besar warga di kelurahan Wonoroto,Watumalang,Wonosobo. Merasakan manfaat bila ide bersama menjadi nyata,warga rela bahu-membahu terlibat mewujudkannya dengan konsep dan peralatan sederhana.Hanya 38 hari berhasil membuat terowongan menembus bukit sepanjang 210 meter untuk saluran irigasi.
Setelah bagian tersulit selesai,bagian berikutnya,warga menempuh prosedur resmi.Mudah-mudahan ditangani oleh orang pintar,proses bisa tak kalah cepat,biaya tak menggelembung,dan kualitas terjaga.Prosedur tidak dimaknai “kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah”. Kepentingan umum tetap utama. Semangat kebersamaan dan tekad luar biasa diatas bisa menggambarkan betapa hebatnya energi warga yang menyatu.Tak berlebihan bila karya warga di Wonoroto layak disebut miniatur people power.

(Purnomo Iman Santoso-EI)
Villa Aster II Blok G no. 10,Srondol,
Semarang 50268

Friday, March 27, 2009

Hell Driver Vs Motor Gede

Harian Suara Merdeka tanggal 27 Maret 2009(kolom GAGASAN)

Sekitar tahun 1970 an,ada hal yang masih lekat dalam ingatan.Tinggal dekat lapangan, lebih satu kali menonton pertunjukkan yang waktu itu disebut masyarakat sebagai “heldriper”.Tontonan yang digelar dilapangan adalah ketangkasan dan atraksi mengendarai sepeda motor besar.Mudah diingat merk Norton,BSA, HarleyDavidson. Pertunjukkan selalu dipadati penonton.Maklum di desa, dan kendaraan bermotor masih sangat langka.Atraksi ketangkasan yang digelar sangat menyenangkan hati warga,apalagi bagi anak-anak.
Tak paham asal usul sebutan Hell Driver,tapi tak ada kesan seram.Sebaliknya,yang melekat hingga kini, mereka menunjukan ketangkasan tanpa mengabaikan keselamatan diri maupun orang lain. Setelah selesai, berkonvoi tertib jadi tontonan tersendiri. Singkat cerita, keselamatan bersama sangat utama. Semangat dan kesantunan yang perlu diteladankan
Beberapa tahun terakhir,sering kita jumpai rombongan motor gede.Biasanya diikuti mobil pendukung. Saat pengguna lalu lintas lain tertib berhenti karena traffic light berwarna merah,sirene meraung-raung meminta lewat.Padahal tanpa sirenepun,cukup dengan suara mesinnya yang berderam khas dan lampunya yang menyala berkilat-kilat,awam sudah paham.
Disaat sama,Safety driving/riding, Taati Rambu Lalu Lintas, terus disosialisasikan pihak berwajib. (Mungkin) karena sudah ada pengawalan polisi, memacu kencang dengan tangkasnya,tak jarang dibarengi liukan untuk menyalip,sekalipun jalanan ramai.
Kalau melihat konvoi moge ingatan melayang ke tontonan Hell Driver dulu. Hanya saja ada yang kurang pas.Dulu,para Hell Driver beratraksi,memamerkan ketangkasannya bahkan berakrobat,di area yang disediakan,yaitu di tanah lapang.
Pengendara motor gede pasti trampil. Tapi,bila ada hasrat atraktif, akan lebih bijak bila seperti Hell Driver tempo doeloe.Di area yang disiapkan,silahkan beradu nyali pamer ketangkasan. Bukan di jalan raya.Akan lebih mengesankan bila pengendara moge tetap taat dan santun berlalu lintas.

(Purnomo Iman Santoso-EI)
Villa Aster II Blok G no. 10,Srondol,Semarang 50268

Wednesday, February 25, 2009

Obama-obama di Indonesia

Harian Suara Merdeka tanggal 25 Februari 2009(Kolom Gagasan)

Di buku Dreams of My Father disebutkan, tahun 1983 Barrack Obama meninggalkan kehidupan mapan di pasar saham Wall Street untuk terjun langsung sebagai politisi. Memulai kariernya di Calumet, kawasan kumuh di Chicago Selatan.

Sering harus mengalami makian hingga diusir saat melakukan inventarisasi masalah sosial terkait ketidaknyamanan dan ketidakadilan yang dialami warga yang dimarginalkan maupun didiskriminasikan. Hingga memimpin demo melawan konspirasi antara pemegang kekuasaan dan pemilik modal yang merugikan masyarakat banyak.

Melalui tahapan proses sebagai senator, perjalanan panjang kariernya memasuki babak baru. Karya nyatanya dikuatkan dengan ”mantra” Yes, We Can! berhasil menaklukkan hati rakyat, yang bahu - membahu memberikan dukungan moral dan moril. Menang pertarungan ketat dengan para pesaingnya, 20-1-2009, Barrack Obama dilantik menjadi presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat.

Masyarakat Indonesia sekarang dalam proses menghitung hari menuju pelaksanaan pemilu. Hal menarik di penghujung tahun 2008 lalu adalah lahirnya ketentuan memilih wakil rakyat tak lagi berdasar nomor urut,tapi suara terbanyak. Seharusnya ini akan meningkatkan kualitas hasilnya.

Jadi, rakyat tak lagi memilih figur yang karyanya hanya bisa ditemui saat berpidato di panggung kampanye, dalam bentuk baliho iklan, ataupun debat seru di teve 5 tahun sekali. Track record tak lagi harus identik dalam pengertian (mantan) sederet jabatan birokrasi, koneksi, ataupun deretan gelar yang siap dengan produksi wacana.

Track record yang dibutuhkan adalah yang kental semangat sebagai abdi masyarakat dalam makna dan karya senyata-nyatanya di lapangan dan membumi.

Di Indonesia sebenarnya juga banyak ”Barrack Obama”. Mereka mengusut kekerasan negara terhadap rakyatnya seperti dilakukan (alm) Munir/KontraS. Juga ada yang memperjuangkan korban diskriminasi, hak petani, nelayan, buruh, anak/ wanita agar terbebas dari trafficking, hingga kesehatan pekerja seks komersial dan masih banyak lagi.

Yang mereka lakukan tidak dengan (menyalahgunakan) kekuasaan.Tak memonopoli kebenaran melalui cuci otak dengan intimidasi, stigma, stereotype, dan diskriminasi. Juga tidak mengutak-atik rahasia negara menjadi ”bunker” konspirasi tingkat tinggi.

Berani tidak populer, di luar sistem, tapi karya dan sikapnya dirasakan nyata bermanfaat dan tidak bersekat. Masyarakat pun menaruh simpati dan hormat.
Ada maupun tak ada pemilu, karya nyata sudah jadi panggilan jiwa, bahkan bisa mempertaruhkan nyawa. Penaklukan sosial yang dilakukannya tidak jalan pintas/instan.

Masyarakat semakin cerdas, tak mungkin lagi ditaklukkan melalui tradisi arogansi maupun (jual beli) isu ala tengkulak. Harus karya nyata dan proses dari bawah, penuh ketekunan, dedikasi, tulus ikhlas, dan berintegritas.
Demi kemajuan Bangsa Indonesia, perlu jeli dan memberi kesempatan para penakluk sosial agar tak sebatas vote getter. Penakluk sosial ini yang sejatinya layak dipercaya mewakili, bahkan menjadi calon pemimpin masa depan.

Purnomo Iman Santoso
Blok G no. 10,Srondol,
Semarang 50268