Wednesday, November 19, 1997

Bank Sehat atau Bank Plus

Harian Suara Merdeka , 19 November 1997

Sejarah perbankan Indonesia memasuki era baru dengan digulirkannya paket 1 November 1997 tentang likuidasi 16 bank yang dinilai bermasalah oleh otoritas moneter.Dalam pengamatan kami , reaksi masyarakat terhadap langkah pemerintah sangat bervariasi.Namun pada umumnya masyarakat sepakat bank bermasalah memang harus dilikuidasi; walaupun ada juga reaksi yang sifatnya tidak menyangka banknya ternasuk yang ditindak.

Dari reaksi masyarakat tersebut kami melihat saat in penilaian masyarakat dalam memilih bank masih terfokus pada parameter yang bersifat emosional, antara lain bank tersebut termasuk BUMN,kalau bank swasta mereka akan melihat siapa pemiliknya dan penampilan fisik (bentuk gedung besar berarti bonafide)
Dari kondisi diatas ,tidak heran bila masyarakat menjadi mudah bingung, rentan issu dan sering membuat analisis yang bersifat emosional.

Sebagai contoh, saat berita mayoritas kredit macet didominasi bank pemerintah,kasus kolusi yang mengakibatkan bobolnya Bapindo(kasus Eddy Tansil) masyarakat berpaling ke bank swasta.Saat issu menerpa bank swasta,likuidasi beberapa bank swasta bermasalah,masyarakat berpaling dari bank swasta ke bank Pemerintah.Masyarakat terkejut karena dari beberapa bank yang dilikuidasi ternyata milik orang-orang “top”.
Bentuk gedung ternyata merupakan salah satu alasan masyarakat untuk memberikan kepercayaan kepada suatu bank(makin besar dan mewah gedung bank, masyarakat menilai bank itu bonafide).penilaian sehat atau tidak sebuah bank , sudah diatur berdasarkan pada acuan yang rasional,yaitu penilaian kesehatan sebuah bank berdasarkan Paket deregulasi Perbankan 26 Februari 1991 yang berdasarkan tolok ukur sebagai berikut :

Capital,kecukupan modal,15 kriteria,bobot 20%
Aktiva produktif,kualitas aset ,45 kriteria ,bobot 30 %
Managemen,kualitas SDM dan manajemen,81 kriteria ,bobot 30 %
Earning ,kemampuan menghasilkan laba,20 kriteria,bobot 10 %
Likuiditas ,kemampuan memenuhi cash , 15 kriteria, bobot 10 %

Parameter penilaian itu telah mencakup aspek kuantitatif (C,A,E,L) dan kualitatif(M).Namun tampaknya masih belum sepenuhnya populer dimasyarakat, sehingga para bankir perlu lebih aktif untuk melakukan ”sosialisasi” ke masyarakat, sehingga masyarakat /nasabah akan lebih paham untuk menentukanmana bank sehat atau bank tidak sehat.Dalam perkembangan dunia perbankan yang sangat pesat dewasa ini , persaingan diantara perbankan nasional dirasakan sangat ketat.Namun kita tidak boleh terlalu asyik bersaing antarperbankan nasional tetapi lupa dunia saat ini telah bergerak ke era baru ,yaitu globalisasi.Memasuki era baru itu,perbankan asing akan dimungkinkan untuk ‘mengakar” di Indonesia ,karena kelebihan dibidang teknologi dan kualitas SDM , dan pemerintah tidak lagi dapat membatasi perizinan.

Etika Profesi
Dua dasawarsa lalu mungkin kita belum berpikir akan era globalisasi,pembukaan cabang asing di Indonesia masih mungkin dibatasi,karena perbankan nasional waktu itu belum siap.Namun di era baru, mulai tahun 2003 “sekat-sekat” itu tidak boleh ada lagi.Masuknya bank-bank asing ke pasar Indonesia akan makin memperketat persaingan. Agar bisa bersaing,perbankan nasional dituntut tidak sekedar sehat secara bank teknis ,tapi juga secara profesional dalam arti sadar etika profesi.
Sebagai antisipasi kiranya perlu dipikirkan untuk memasukkan pemahanan etika bankir Indonesia dalam penilaian kesehatan suatu bank, sehingga perbankan nasional lebih sehat dan kukuh serta dapat bersaing secara profesional.Mengapa etika bankir Indonesia perlu dimasukkan dalam penilaian kesehatan suatu bank ?

Pada Paket 28 februari 1991 diluncurkan , otoritas moneter telah memberikan perhatian terhadap kualitas manajemen dan SDM.Namun dari 81 kriteria berkaitan dengan penilaian manajemen itu , masalah kode etik bankir belum termasuk.Hal itu dimungkinkan karena wadah bankir indonesia (institut Bankir indonesia)baru lahir 17 februari 1992 dan Etika Bankir Indonesia dirumuskan pada 24 juni 1992.Sudah menjadi rahasia umum , perbankan nasional ,khussnya swasta, sangat rentan isu.Hingga saat ini , kalau kita lihat kebelakang,telah beberapa bank swasta terkena isu dan umumnya bank bank papan atas tidak bermasalah dan tingkat kesehatan bagus.Krisis moneter yang terjadi sejak juli 1997 menimbulkan persaingan tidak sehat.Terjadi saling menyebar isu diantara perbankan , dan sasarn isu ironisnya justru bank bank yang tidak bermasalah alias sehat.

Indonesia akan memasuki era baru globalisasi, sehingga kualitas manajemen dan SDM sebaiknya jangan sebatas mengenai hal hal yang berkaitan dengan teknis saja,tapi juga termasuk yang berkaitan dengan etika profesi.Indikasi muncul penyimpangan dari etika profesi tentu tidak boleh berlanjut.Sebab, bank sebagai bisnis spesifik merupakan lembaga kepercayaan , lembaga bisnis yang sangat penting dan merupakan urat nadi perekonomian bangsa.Otoritas moneter beserta para bankir perlu dan sangat berkepentingan untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap apa yang dinamakan lembaga perbankan.Saling lempar isu bukan tidak mungkin akan membuat bank sehat menjadi tidak sehat, bahkan bangkrut.Dengan menyadari hal itu diharapkan perbankan nasional tidak bersaing dengan saling sikut dengan menyebar isu, tetapi justru bergandengan tangan dan bersatu dalam menghadapi peraingan dengan perbankan asing secara profesional.Kita juga perlu menyadari,perbankan nasioanal(baik swasta maupun BUMN) merupakan aset nasional.

Mengacu pada artikel Midian Simanjuntak di sebuah harian ibukota 16 September 1989, berjudul “aturan Main Dunia Bisnis”, sudah semestinya kita menghindaripraktek bisnis tidak sehat,baik ke konsumen maupun ke kompetitor.Disebutkan, praktek bisnis yang tidak sehat atau tidak sesuai dengan etika bisnis untuk menyerang kompetitor , antara lain dumping, yaitu tindakan untuk merebut pangsa pasar, melalui penjualan dengan harga sangat rendah.Concentrated activities by competitor yaitu membentuk grup boikot untuk menciptakan sentimen pasar pada kompetitor.Kemudian interlocking directorates yaitu seorang menjadi anggota direksi dari dua atau lebih perusahaan besar yang merupakan kompetitor.bagaimana jika kalangan bakir menanggapi secara skeptis dan sinis etika(mungkin karena keberhasilan saat ini justru karena mengabaikan etika bankir indonesia)?Kita perlu memahami bahwa etika merupakan norma yang bersifat universal.

Filosofi bisnis (apapun jenisnya) adalah kepercayaan dan kita masuk era globalisasi.Dengan tetap ngotot mengabaikan etika ,pelaku pasar akan menilai mana yang bebrisnis secara benar mana yang tidak.Pada akhirnya hukum besi pasar(yang tidak mengenal kolusi dan lain-lain)berlaku dan akan menerjang siapapun (tidak peduli siapa pemilik ,beking/latarbelakang) sehingga terasing dan akhirnya tersingkir dari percaturan bisnis.Kenapa pasar akan bereaksi “kejam dan tanpa kompromi” ?Karena filosofi dasar bisnis adalah kepercayaan, didalamnya ada unsur fair/win-win dan hati nurani telah diabaikan.Soal pengartuh etika sangat penting,tentu masih segar dalam ingatan kita seorang Mike Tyson dengan reputasi yang tidak diragukan lagi menjadi tersingkir gara-gara melakukan tindakan yang tidak etis dalam profesinya ,yaitu menggigit telinga Evander Holyfield pada saat pertandingan perebutan gelar.

Sehat Plus
Karena itu ,para bankir dan otoritas moneter seyogyanya tidak terkonsentrasi hanya untuk memikirkan bank sehat tetapi harus bank sehat plus, dengan cara :
Pertama, penilaian bank sehat memasukkan etika bankir indonesia /etika profesi pada unsur manajemen.

Dua, semua jajaran perbankan berkepentingan dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan nasional.
Tiga, otoritas moneter harus tegas ,transparan dan konsisten dalam menegakkan ketentuan dan aturan yang berkaitan dengan lembaga perbankan.
Empat,otoritas moneter harus mempunyai komitmen kuat untuk menegakkan kode etik bankir indonesia.

Dengan langkah-langkah tersebut diharapkan terjadi pendewasaan bankir dan masyarakat terhadap pemahaman perbankan, sehingga akhirnya masyarakat dapat mengerti mana bank sehat , bank sehat plus dan mana yang tidak sehat.Dengan demikianmasyarakat akan memiliki “antibodi” untuk menghadapi virus issue .Otoritas moneter akan terus memonitor dan mengawasi para bankir untuk menghindari penyimpangan perilaku,karena bankir jenis itu masuk kategori “ bankir berperilaku bebas” yang perilakunya dapat menyebarkan ‘virus” yang dapat menyebabkan “ketahanan tubuh” perbankan nasional terganggu dan mudah “sakit”.

“Penertiban” terhadap bankir “berperilaku bebas “ sangat penting , karena perilaku mereka akan dapat menimbulkan erosi kepercayaan terhadap profesi bankir.
Kita tentu tidak menghendaki kondisi masyarakat tidak percaya lagi terhadap bank dan bankir indonesia , namun lebih percaya terhadap bank dan bankir asing , justru karena ketidaketisan kita sendiri.Jadi,sekali lagi, yang kita butuhkan tidak sekedar Bank Sehat,tetapi “bank sehat plus”.


Purnomo Iman Santoso
B.Danamon Cabang Kebumen