Monday, July 28, 2008

Coming From Behind

Suara Merdeka tanggal 28 Juli 2008 (kolom GAGASAN)

Prihatin dengan kondisi saat ini, DPR sepakat membentuk team selection. Tim terdiri dari orang pilihan yang diseleksi secara langsung dan ketat. Kali ini sudah tim yang kedua yang diterjunkan dalam ajang kompetisi Liga Indonesia Serie C.

Tim pertama menonjol dengan permainan cantik skill tinggi. Mirip tim Brasil era Zico-Socrates. Gencar seminar, coaching clinic hingga iklan untuk preventif - sosialisasi.

Tim kedua di samping skill, memainkan speed and power game. Jadilah pertandingan berlangsung lebih menarik. Dengan semangat panser Jerman, tim ini terus melaju. Ciri tim tangguh yang dihadapi hampir mirip.

Lawan punya sistem pertahanan ala gerendel catenaccio tim Azzuri Italia. Jejaringan begitu solidnya hingga perlu dibuka dengan cara khusus, apalagi didampingi coach bereputasi tinggi.

Tim selection harus siap dengan mental seperti pelatih Rusia asal Belanda, Guus Hiddink. Saat akan berlangsung pertandingan Rusia-Belanda dalam Euro 2008, dia menyebutkan demi sportivitas dan profesionalitas siap menjadi ”pengkhianat terbesar”.

Ucapannya dibuktikan dengan menggulung Belanda 3-1. Tak ada umpatan kuno mengusik nasionalismenya. Publik Belanda tetap bangga kepada Guus Hiddink.

Tim ini pun menghadapi situasi mirip saat harus menghadapi kolega. Bahkan mendapat reaksi pembubaran namun mereka tetap tegar. Hasilnya luar biasa. Kombinasi speed and power panserJerman plus total football Belanda, terus mengobrak-abrik tim lawan. Bersyukur tak ada yang membentuk opini Malin Kundang.

Tapi, opini apapun tak usah mengganggu konsentrasi. Toh Jakmania, Aremania, Panser Biru dan seluruh suporter bersatu mendukung permainan elegan tim.

Pada pertandingan terkini, tim menghadapi lawan tangguh. Duet UTG-AS menggunakan strategi ”negative football ”ala Uruguay di masa lalu. Serangan team selection dengan umpan terobosan tajam sekualitas Csec Fabregas, berusaha dimentahkan dengan permainan tidak profesional yang mengakibatkan kacamata striker KPK pecah. Beruntung gol.

Masih ada tarik baju, berguling-guling agar dapat simpati wasit untuk memaksakan hasil seri. Coach AS-UTG protes dengan isu penjebakan. Team selection pun sudah siap menggunakan taktik Sartono Anwar yang ampuh dan membawa PSIS juara PSSI tahun 1987, coming from behind. Di menit-menit yang menentukan dan injury time, diputarlah rekaman pembicaraan mereka.

Kemelut hebat terjadi di muka gawang dan beberapa kali disaksikan penonton dan tertangkap kamera secara close up, bahwa bola telah masuk melewati garis gawang, walau berusaha ditepis keluar oleh duet AS-UTG. Hakim garis, wasit, inspektur pertandingan harus tegas untuk mengesahkan jadi gol-gol untuk kemenangan telak Team Selection demi tegaknya fair play.

Purnomo Iman Santoso (EI)
Villa Aster II Blok G/10 , Semarang

Sunday, July 06, 2008

Tinggalkan Gaya Bahasa Topeng

Suara Merdeka tanggal 6 Juli 2008 (Kolom GAGASAN)

Eufemisme sebagai cara berbahasa sopan bukan harus dijauhi. Yang harus dihilangkan adalah gaya bahasa topeng yang selama 32 tahun dikembangkan oleh rezim berkuasa. Gaya bahasa topeng disebutkan sebagai proses penghalusan semantik yang berlebihan sehingga terasa enak dan baik tampaknya, tapi kebenaranya tertutupi.

Gaya bahasa topeng mengakibatkan represi liguistik. Contoh, ada empat makna konotatif beberapa kata dan represi liguistik rezim yang berkuasa waktu itu. Konotasi kekerasan (misal kosakata subversif, OTB, PKI) membuat rakyat ketakutan karena juga mengandung konotasi kejahatan, konotasi pengendalian (antara lain membina) yang pada kenyataannya lebih ke arah rekayasa.

Hasil penelitian Prof Daulat P Tampubolon menyebutkan, gaya bahasa tersebut mengakibatkan kebebasan menyatakan pendapat, kreativitas, daya nalar merosot dan hasil budaya yang bernilai hampir tidak muncul. Penelitian ini relevan hingga perlu mencermati istilah yang berbau gaya bahasa topeng. Misal istilah pesta demokrasi mungkin dikembalikan ke aslinya yaitu pemilu saja.

Istilah oknum dan kesalahan prosedur sering dirasakan mengaburkan masalah sebenarnya. Juga istilah pembauran dan lainnya. Istilah yang berpuluh tahun di- ”indokrinasi”-kan ini mudah membuat orang saling curiga. Ditambah lagi dengan pengarahan, ”jangan eksklusif’’ dan isu ”penganiayaan pembantu”.
Klop sudah dengan mudah jadi vonis yang menggeneralisasi. Otomatis tahu, siapa yang jadi ”sasaran tembak”. Sangat favorit di-”blow up” untuk mengalihkan perhatian dari masalah pokok. Apalagi bila dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat.

Meski dislogankan untuk persatuan, namun yang terjadi justru sebaliknya. Dengan monopoli interpretasi, harus menutup mata pada realita keragaman dan kenyataan bahwa kebersamaan sudah berlangsung alamiah dan otomatis sejak berabad lalu. Memasuki satu abad Kebangkitan Bangsa Indonesia, saatnya meninggalkan gaya bahasa topeng.

Tidak usah menggunakan istilah pesta demokrasi karena kenyataannya masih susah, tinggalkan istilah pembauran, SARA yang sarat konotasi kecurigaan, stereotipe dan stigma. Kalau dicermati hasrat memecah belah terasa lebih dominan daripada spirit persatuan. Fakta sejarah, negara Indonesia lahir karena persatuan dari berbagai keragaman, seolah mau diingkari.

Semua pasti tidak sepakat untuk menggebyah uyah (apalagi melakukan sweeping) semua warga Timur Tengah atau kerabat serumpun Siti Nurhalisa-Anwar Ibrahim yang diidentikkan sebagai tidak menghargai bangsa Indonesia karena banyak TKI/TKW jadi korban kekerasan. Padahal kekerasan itu penyimpangan perilaku individual, siapa pun dan apa pun latar belakangnya.

Tak lagi mudah menggunakan istilah oknum atau kesalahan prosedur, agar kebenaran muncul dan ada pertanggungjawaban jelas tanpa pandang bulu. Selama ini istilah oknum dan kesalahan prosedur sering berkonotasi rekayasa. Ada semangat untuk menutupi kesalahan yang lebih mendasar. Kelemahan sistem berpotensi berlarut karena tidak terkoreksi/terbenahi.

Boleh berbeda pendapat dengan hasil penelitian Prof.Daulat P Tampubolon tapi tak ada salahnya menengok sejenak ke belakang ”kiprah” gaya bahasa topeng. Awal Maret 1998 satu dasa warsa lalu, SU MPR berlangsung lancar dan adem ayem. Keresahan masyarakat hanya dianggap sebagai manuver segelintir orang.

Hampir semua fraksi setuju pertanggungjawaban Presiden Soeharto. Hanya Fraksi PPP yang berani melakukan koreksi dan kritik. Itu pun tidak secara tegas rnenolak. Dari ikrar hingga kebulatan tekad mendukung Pak Harto untuk kembali menjadi presiden calon tunggal, mengalir deras. Mandat pun kembali diberikan.

Namun hanya dalam kurun waktu singkat, tidak sampai 3 bulan, tanggal 18 Mei 1998 ketua MPR/DPR Harmoko meminta presiden mundur. (Lho!) Betapa galau perasaan Soeharto. Terlena dengan gaya bahasa yang jamak dipakai, membuatnya salah melihat realita. Benar-benar menyakitkan, seperti senjata makan tuan.

Sopan santun dalam pemahaman universal itu seharusnya dimaknai sebagai sikap dan tidak berkasta. Bukan semata dinilai sebagai gaya tutur kata khas. Tak seharusnya memanis gaya. Halus tidak identik selalu sopan, apalagi kalau penuh konotasi. Ayo maju bersatu Indonesia dengan berbahasa tulus, ikhlas dan cerdas.

Bangkitlah sebagai bangsa bermartabat melalui karya gemilang dan diakui dunia. Tinggalkan gaya bahasa topeng karena bukan tidak mungkin dengan permainan bahasa yang penuh isu stigma, stereotipe dan konotasi sesuai kepentingan yang berkuasa, menyebabkan rakyat dibuat lalai dan tidak cerdas.
Rakyat hanya asyik saling curiga sementara (kekayaan) negara tidak terurus. Padahal diamanatkan kontitusi seharusnya untuk menyejahterakan rakyat.

Purnomo Iman Santoso
Villa Aster Blok G/10 Srondol, Semarang