Sunday, July 06, 2008

Tinggalkan Gaya Bahasa Topeng

Suara Merdeka tanggal 6 Juli 2008 (Kolom GAGASAN)

Eufemisme sebagai cara berbahasa sopan bukan harus dijauhi. Yang harus dihilangkan adalah gaya bahasa topeng yang selama 32 tahun dikembangkan oleh rezim berkuasa. Gaya bahasa topeng disebutkan sebagai proses penghalusan semantik yang berlebihan sehingga terasa enak dan baik tampaknya, tapi kebenaranya tertutupi.

Gaya bahasa topeng mengakibatkan represi liguistik. Contoh, ada empat makna konotatif beberapa kata dan represi liguistik rezim yang berkuasa waktu itu. Konotasi kekerasan (misal kosakata subversif, OTB, PKI) membuat rakyat ketakutan karena juga mengandung konotasi kejahatan, konotasi pengendalian (antara lain membina) yang pada kenyataannya lebih ke arah rekayasa.

Hasil penelitian Prof Daulat P Tampubolon menyebutkan, gaya bahasa tersebut mengakibatkan kebebasan menyatakan pendapat, kreativitas, daya nalar merosot dan hasil budaya yang bernilai hampir tidak muncul. Penelitian ini relevan hingga perlu mencermati istilah yang berbau gaya bahasa topeng. Misal istilah pesta demokrasi mungkin dikembalikan ke aslinya yaitu pemilu saja.

Istilah oknum dan kesalahan prosedur sering dirasakan mengaburkan masalah sebenarnya. Juga istilah pembauran dan lainnya. Istilah yang berpuluh tahun di- ”indokrinasi”-kan ini mudah membuat orang saling curiga. Ditambah lagi dengan pengarahan, ”jangan eksklusif’’ dan isu ”penganiayaan pembantu”.
Klop sudah dengan mudah jadi vonis yang menggeneralisasi. Otomatis tahu, siapa yang jadi ”sasaran tembak”. Sangat favorit di-”blow up” untuk mengalihkan perhatian dari masalah pokok. Apalagi bila dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat.

Meski dislogankan untuk persatuan, namun yang terjadi justru sebaliknya. Dengan monopoli interpretasi, harus menutup mata pada realita keragaman dan kenyataan bahwa kebersamaan sudah berlangsung alamiah dan otomatis sejak berabad lalu. Memasuki satu abad Kebangkitan Bangsa Indonesia, saatnya meninggalkan gaya bahasa topeng.

Tidak usah menggunakan istilah pesta demokrasi karena kenyataannya masih susah, tinggalkan istilah pembauran, SARA yang sarat konotasi kecurigaan, stereotipe dan stigma. Kalau dicermati hasrat memecah belah terasa lebih dominan daripada spirit persatuan. Fakta sejarah, negara Indonesia lahir karena persatuan dari berbagai keragaman, seolah mau diingkari.

Semua pasti tidak sepakat untuk menggebyah uyah (apalagi melakukan sweeping) semua warga Timur Tengah atau kerabat serumpun Siti Nurhalisa-Anwar Ibrahim yang diidentikkan sebagai tidak menghargai bangsa Indonesia karena banyak TKI/TKW jadi korban kekerasan. Padahal kekerasan itu penyimpangan perilaku individual, siapa pun dan apa pun latar belakangnya.

Tak lagi mudah menggunakan istilah oknum atau kesalahan prosedur, agar kebenaran muncul dan ada pertanggungjawaban jelas tanpa pandang bulu. Selama ini istilah oknum dan kesalahan prosedur sering berkonotasi rekayasa. Ada semangat untuk menutupi kesalahan yang lebih mendasar. Kelemahan sistem berpotensi berlarut karena tidak terkoreksi/terbenahi.

Boleh berbeda pendapat dengan hasil penelitian Prof.Daulat P Tampubolon tapi tak ada salahnya menengok sejenak ke belakang ”kiprah” gaya bahasa topeng. Awal Maret 1998 satu dasa warsa lalu, SU MPR berlangsung lancar dan adem ayem. Keresahan masyarakat hanya dianggap sebagai manuver segelintir orang.

Hampir semua fraksi setuju pertanggungjawaban Presiden Soeharto. Hanya Fraksi PPP yang berani melakukan koreksi dan kritik. Itu pun tidak secara tegas rnenolak. Dari ikrar hingga kebulatan tekad mendukung Pak Harto untuk kembali menjadi presiden calon tunggal, mengalir deras. Mandat pun kembali diberikan.

Namun hanya dalam kurun waktu singkat, tidak sampai 3 bulan, tanggal 18 Mei 1998 ketua MPR/DPR Harmoko meminta presiden mundur. (Lho!) Betapa galau perasaan Soeharto. Terlena dengan gaya bahasa yang jamak dipakai, membuatnya salah melihat realita. Benar-benar menyakitkan, seperti senjata makan tuan.

Sopan santun dalam pemahaman universal itu seharusnya dimaknai sebagai sikap dan tidak berkasta. Bukan semata dinilai sebagai gaya tutur kata khas. Tak seharusnya memanis gaya. Halus tidak identik selalu sopan, apalagi kalau penuh konotasi. Ayo maju bersatu Indonesia dengan berbahasa tulus, ikhlas dan cerdas.

Bangkitlah sebagai bangsa bermartabat melalui karya gemilang dan diakui dunia. Tinggalkan gaya bahasa topeng karena bukan tidak mungkin dengan permainan bahasa yang penuh isu stigma, stereotipe dan konotasi sesuai kepentingan yang berkuasa, menyebabkan rakyat dibuat lalai dan tidak cerdas.
Rakyat hanya asyik saling curiga sementara (kekayaan) negara tidak terurus. Padahal diamanatkan kontitusi seharusnya untuk menyejahterakan rakyat.

Purnomo Iman Santoso
Villa Aster Blok G/10 Srondol, Semarang

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home