Wednesday, February 25, 2009

Obama-obama di Indonesia

Harian Suara Merdeka tanggal 25 Februari 2009(Kolom Gagasan)

Di buku Dreams of My Father disebutkan, tahun 1983 Barrack Obama meninggalkan kehidupan mapan di pasar saham Wall Street untuk terjun langsung sebagai politisi. Memulai kariernya di Calumet, kawasan kumuh di Chicago Selatan.

Sering harus mengalami makian hingga diusir saat melakukan inventarisasi masalah sosial terkait ketidaknyamanan dan ketidakadilan yang dialami warga yang dimarginalkan maupun didiskriminasikan. Hingga memimpin demo melawan konspirasi antara pemegang kekuasaan dan pemilik modal yang merugikan masyarakat banyak.

Melalui tahapan proses sebagai senator, perjalanan panjang kariernya memasuki babak baru. Karya nyatanya dikuatkan dengan ”mantra” Yes, We Can! berhasil menaklukkan hati rakyat, yang bahu - membahu memberikan dukungan moral dan moril. Menang pertarungan ketat dengan para pesaingnya, 20-1-2009, Barrack Obama dilantik menjadi presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat.

Masyarakat Indonesia sekarang dalam proses menghitung hari menuju pelaksanaan pemilu. Hal menarik di penghujung tahun 2008 lalu adalah lahirnya ketentuan memilih wakil rakyat tak lagi berdasar nomor urut,tapi suara terbanyak. Seharusnya ini akan meningkatkan kualitas hasilnya.

Jadi, rakyat tak lagi memilih figur yang karyanya hanya bisa ditemui saat berpidato di panggung kampanye, dalam bentuk baliho iklan, ataupun debat seru di teve 5 tahun sekali. Track record tak lagi harus identik dalam pengertian (mantan) sederet jabatan birokrasi, koneksi, ataupun deretan gelar yang siap dengan produksi wacana.

Track record yang dibutuhkan adalah yang kental semangat sebagai abdi masyarakat dalam makna dan karya senyata-nyatanya di lapangan dan membumi.

Di Indonesia sebenarnya juga banyak ”Barrack Obama”. Mereka mengusut kekerasan negara terhadap rakyatnya seperti dilakukan (alm) Munir/KontraS. Juga ada yang memperjuangkan korban diskriminasi, hak petani, nelayan, buruh, anak/ wanita agar terbebas dari trafficking, hingga kesehatan pekerja seks komersial dan masih banyak lagi.

Yang mereka lakukan tidak dengan (menyalahgunakan) kekuasaan.Tak memonopoli kebenaran melalui cuci otak dengan intimidasi, stigma, stereotype, dan diskriminasi. Juga tidak mengutak-atik rahasia negara menjadi ”bunker” konspirasi tingkat tinggi.

Berani tidak populer, di luar sistem, tapi karya dan sikapnya dirasakan nyata bermanfaat dan tidak bersekat. Masyarakat pun menaruh simpati dan hormat.
Ada maupun tak ada pemilu, karya nyata sudah jadi panggilan jiwa, bahkan bisa mempertaruhkan nyawa. Penaklukan sosial yang dilakukannya tidak jalan pintas/instan.

Masyarakat semakin cerdas, tak mungkin lagi ditaklukkan melalui tradisi arogansi maupun (jual beli) isu ala tengkulak. Harus karya nyata dan proses dari bawah, penuh ketekunan, dedikasi, tulus ikhlas, dan berintegritas.
Demi kemajuan Bangsa Indonesia, perlu jeli dan memberi kesempatan para penakluk sosial agar tak sebatas vote getter. Penakluk sosial ini yang sejatinya layak dipercaya mewakili, bahkan menjadi calon pemimpin masa depan.

Purnomo Iman Santoso
Blok G no. 10,Srondol,
Semarang 50268

Tuesday, February 03, 2009

Transportasi Umum Pernah Tertib

Suara Merdeka tanggal 3 Februari 2009(Kolom GAGASAN)

Ini pengalaman pribadi dalam menggunakan transportasi umum. Tahun 1973, dua minggu sekali tiap Jumat saya mendapat tugas dari orangtua untuk berbelanja. Bersekolah di kelas 1 SMP Perintis, hari Jumat pulang lebih awal, jam 11.00.

Sepulang sekolah, saya pergi berbelanja. Saya naik bus dengan menunggu di pemberhentian bus. Saat itu, jam kedatangan dan keberangkatan bus sudah teratur. Bus menuju ke Sokaraja - Purwokerto, 30 km jauhnya dari tempat tinggal di Purworejo Klampok.

Bus masih jarang, namun jadwal kehadirannya pasti. Ini memudahkan saya mengatur waktu, karena jam 16.00 harus sudah di lapangan untuk main sepak bola. Tugas ini memberi kenangan tersendiri. Saat itu masih banyak bus merk Chevrolet Viking, Dodge, Fargo, Ford. Nama-nama bus waktu itu masih teringat jelas seperti Mutiara, Tepat, Pertiwi, GeloraMasa,YS.

Di dalam bus masih ada tulisan ”Dilarang mengeluarkan anggota badan”, ”Dilarang bicara dengan sopir” dan ”Duduk 50 orang, berdiri 1 orang”. Kondektur selalu memberi karcis saat menarik ongkos.

Ada kebiasaan baik. Bila penumpang perempuan/orangtua berdiri, maka yang duduk biasanya pria/orang lebih muda-akan berdiri mempersilakan tempat duduknya. Kisah di atas bisa menggambarkan betapa ada satu masa bahwa transportasi umum pernah tertib dan santun.

Suasana agak berbeda saya rasakan tahun 1980-1986. Di terminal Pulogadung Jakarta, mulai ada ketidaknyamanan. Harus siap menghadapi calo yang memaksa menawarkan tiket atau menaiki bus yang mereka inginkan dengan menyandera barang bawaan. Masa rebutan penumpang dan manusia dianggap barang.

Tahun 1986-1991, terminal Terboyo Semarang masih baru. Waktu menunggu bUs berangkat, pedagang makanan lalu lalang di dalam bus. Namun bagi yang tidak membeli, mulai ada pemaksaan halus. Wanita/orangtua yang kelihatan bingung, jadi sasaran empuk.

Bus diisi penumpang sangat penuh, yang berdiri pun berjubel. Saat itu, kalau lewat pos polisi di pertigaan Bawen atau ada operasi polisi, para penumpang yang berdiri saja susah, diminta jongkok/menunduk, agar tampak rata tempat duduk.

Tahun 2003 berbeda lagi. Bus lebih lengang. Namun bukannya menjadi lebih nyaman. Hilir mudik kelompok pengamen tiada henti sepanjang perjalanan. Mengamen hanya dalih, karena bila tidak diberi, khususnya pada wanita/cewek, mereka akan bertingkah laku yang jauh dari santun.

Jangankan kenyamanan, untuk memejamkan mata sejenak saja tidak mungkin. Karena sang pengamen akan membangunkan dengan tanpa peduli privacy. Apalagi rasa aman.

Harus terus waspada. Memang ada yang benar-benar pengamen, mereka menyanyi, musik bisa dinikmati dan tetap santun. Namun yang ini (sangat-sangat) langka. Mayoritas lebih pantas dikategorikan pemalak, bawa gitar hanya sebagai tameng.

Sepuluh tahun terakhir, akibat dianggap barang, pengguna transportasi umum mulai cari solusi untuk me”manusia”kan diri. Kesemrawutan transportasi umum direspons cerdas oleh industri otomotif untuk mendorong masyarakat berswadaya.

Kepadatan beralih ke jalanan. Aneka kendaraan pribadi, dari mobil hingga sepeda motor, segera tumpah ruah di segenap jalan kota hingga pelosok desa. Angkutan umum banyak yang lenggang. Bahkan saat mudik lebaran, awak bus mengeluh tak lagi panen, dari tahun ke tahun cenderung sepi. Mudah dijumpai area parkir SMP/SMA penuh sepeda motor.

Timbul tanda tanya, mereka belum dewasa/17 tahun-syarat memiliki KTP dan SIM. Sepeda motor yang didesain sebagai sarana transpor jarak pendek, kecepatannya dirancang meningkat dan jamak digunakan jarak jauh.

Masyarakat dihadapkan pada pilihan sulit. Bila transportasi umum tertib, pasti banyak yang memanfaatkannya. Lebih relaks dan tak terlalu capai. Sayang (bila) transportasi umum (dibiarkan) serbarawan.

Transportasi umum di era 70-an menunjukkan bahwa ketertiban pernah ada. Dalih bahwa zaman sudah berubah, penduduk bertambah, sepertinya tidak tepat bila digunakan sebagai pembenar untuk kemunduran.
Terlebih lagi, bila ada kalkulasi ”brillian” bahwa kesemrawutan transportasi umum layak ”dipelihara” karena dianggap ada nilai tambah.

Perlu kajian seksama. Antara manfaat peningkatan Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama, Biaya Pembuatan SIM, STNK, penyerapan tenaga kerja terkait pertumbuhan industri (otomotif dll).

Bandingkan dengan pemborosan BBM akibat kemacetan merata, kerugian karena meningkatnya kecelakaan lalu lintas yang berakibat fatalnya key person keluarga dengan segala talenta uniknya. Ironisnya, banyak di usia produktif. Meninggal/cacatnya anak di bawah umur yang seharusnya jadi tunas bangsa akibat kecelakaan karena skill mengendarai yang belum diimbangi feeling. Belum lagi yang yatim/piatu.

Bila SIM tidak mencerminkan kematangan mental pemiliknya, sarana transportasi tak disadari dikendalikan oleh ”Pasukan Berani Mati”. Sangat potensial menjadi mesin pembunuh yang mengerikan: Ketidaktertiban juga berarti lahan subur bagi pungutan tak resmi yang hanya berdampak ekonomi biaya tinggi.

Purnomo Iman Santoso-EI
Villa Aster II Blok G no. 10, Srondol, Semarang