Saturday, November 20, 2010

Belajar Etika Cukup dengan Pak Waras

Harian Suara Merdeka tanggal 20(SM Cyber), 22 November 2010(Kolom GAGASAN)

Studi banding tampaknya menjadi program favorit para wakil rakyat. Atas nama kepentingan rakyat, para wakil rakyat terhormat melanglang buana.Tak tanggung-tanggung, dan sudah semestinya kalau negara tujuan adalah yang jauh lebih maju. Program dengan tema studi, sudah sewajarnya yang memancar adalah semangat belajar yang kuat, untuk mendapatkan pengetahuan yang akan digunakan memecahkan masalah yang dihadapi rakyat Indonesia.

Ironinya berbanding terbalik. Semakin sering studi banding, efektivitas pengawasan kepada pemerintah tak dirasakan oleh masyarakat luas. Wakil rakyat diberi mandat oleh rakyat untuk mengawasi kinerja pemerintah, sepertinya tak berdaya. Di dalam negeri sendiri, masalah-masalah besar dan cenderung semakin kotor, terus membengkak. Keberpihakannya semakin tak dirasakan oleh rakyat. Yang menjadi pertanyaan, apa yang di studi bandingkan para wakil rakyat? Apakah studi banding ada relevansi dan urgensinya dengan atas mendesaknya kebutuhan clean and good governance/pemerintahan yang bersih.

Uniknya, permasalahan besar yang belum terselesaikan sebenarnya masalah-masalah yang bagi awam sederhana, seringkali sudah gamblang dan terang benderang, dipersulit dengan dalih-dalih rumit. Alih-alih menjadi tuntas, justru ungkapan: Indonesia negara hukum, hukum harus ditegakkan, hukum harus jadi panglima, menjadi semakin klise. Ada diskriminasi mencolok terhadap penerapan dalih praduga tak bersalah. Belum lagi ketika komitmen tidak saling mengintervensi, independensi, ditafsirkan seolah punya kewenangan untuk menentukan beraneka versi kebenarannya sendiri.
Semua materi studi banding hanya akan berhenti sebatas laporan/report yang akan teronggok, memenuhi gudang-gudang di gedung DPR, kalau tanpa komitmen untuk menerapkannya. Belum lagi kalau tema dan topiknya tak sesuai urgensi. Padahal, sekali pun sesuai dengan urgensi, masih perlu penyesuaian (tidak boleh copy-paste) karena solusi mengacu permasalahan masyarakat di negara lain.

Melihat realitas ini, program studi banding (baik keluar negeri maupun dalam negeri) perlu ditinjau ulang. Dengan ketatnya persyaratan menjadi wakil rakyat, yang lolos ke Senayan pastilah orang terpilih. Studi banding akan lebih baik langsung kepada rakyat sendiri. Tak usah jauh-jauh, cukup di luar gedung dan di daerahnya masing-masing. Sekali pun notabene awam, tetapi tak boleh dianggap remeh. Meski tanpa gelar berderet, mereka cerdas, sangat paham bahkan sangat beretika. Punya banyak ide praktis untuk mengatasi banyak permasalahan riil yang kalau diterapkan akan tuntas dan tepat sasaran.

Sebagai contoh, untuk belajar etika. Seharusnya wakil rakyat tak perlu jauh-jauh ke Yunani. Sangat lebih dari cukup bila para anggota dewan terhormat mau berendah hati dan membuka hati belajar dari Pak Waras. Siapa Pak Waras? Dia rakyat Indonesia, sekarang 60 tahun, warga desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, korban Lumpur Lapindo. Pak Waras lebih memilih mengembalikan uang kelebihan ganti rugi senilai Rp 429 juta, karena merasa bukan haknya. Ini terjadi saat sawahnya yang tenggelam oleh lumpur Lapindo seharusnya seharga Rp 56 juta, dibayar Rp 485 juta). Tak perlu lagi mem-fit and proper tes etika Pak Waras. Etikanya benar-benar kualitas unggul. Masih sangat banyak rakyat Indonesia yang beretika seperti Pak Waras.

Kombinasi antara wakil rakyat orang pilihan yang punya kewenangan, dengan ide awam yang riil, beretika dan cerdas, tentu akan melahirkan komitmen keberpihakan terhadap rakyat yang semakin bermakna dalam. Yang lebih dibutuhkan adalah ketulusan dan niat baik untuk memecahkan masalah. Bukan studi banding. Apalagi jauh-jauh ke luar negri.

Purnomo Iman Santoso-EI
Villa Aster II Blok G No 10
Srondol, Semarang 50268

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home